Kamis, 16 April 2009
Waria Mengapa Aku harus Begini..???
Selain jenis kelamin laki-laki dan perempuan, kita mengenal jenis kelamin waria atau transeksual. Waria yang umum ditemui adalah individu dengan bentuk fisik laki-laki namun secara psikis merasa dirinya adalah anggota dari jenis kelamin yang berlawanan. Akibatnya waria ini berusaha untuk mengungkapkan jati dirinya dalam wujud perempuan baik melalui cara berpenampilan, tutur kata, bahasa tubuh, maupun orientasi seksual. Munculnya kaum waria di Indonesia menimbulkan penolakan tersendiri dari struktur masyarakat. Secara mendasar, keberadaan waria dipandang sebagai sebuah dosa atas proses penciptaan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tertanggal 1 November 1997 menegaskan bahwa waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri. Oleh karena itu, segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula. Waria tidak diperlakukan secara setara dan saat waria berusaha untuk menjadi diri sendiri, waria malah dibuang, diasingkan, dipersalahkan, bahkan ditabukan karena penyimpangan yang terdapat dalam diri mereka. mereka. Akhirnya golongan ini lebih memilih untuk mengisolasi diri, hidup dalam sebuah komunitas tertentu, dan memakai istilah bahasa sendiri yang cenderung susah dimengerti oleh orang lain.
Keberadaan Waria di Masyarakat
Selama ini waria sering dijadikan olok-olokan, ditiru cara bicara maupun gerak tubuhnya yang maksudnya sekadar sebagai lelucon. Dianggap lucu karena tidak normal. Dalam kenyataan pahit yang lain, waria sering pula diidentikkan dengan penjaja seks komersial (PSK). Ungkapan yang juga sering keluar dari masyarakat bahwa waria sebagai sampah masyarakat, sehingga tidak perlu diperhatikan haknya sebagai manusia dan warga negara. Padahal banyak waria yang memiliki potensi sumber daya yang cukup handal. Masyarakat sekarang masih menstigma dan mendiskriminasikan, menjadikan mereka “tidak enak” dalam kehidupan sosial. Sebagian masyarakat masih mengacu pada aturan dulu, hanya ada laki dan perempuan, tak ada lagi di antaranya. Mereka tersingkir dalam pendidikan, pekerjaan, akses kesehatan dan lainnya. Selanjutnya mereka berkelompok dan ini perlu dibantu. Dengan menghargai dan memberi mereka peluang serta dorongan untuk maju. Dengan demikian mereka bisa lebih berdaya. Ketika mereka dihargai di suatu pekerjaan berarti mereka telah bisa berdaya. Mereka menjadi kelompok eksklusif karena masyarakat yang membentuknya. Mereka bersatu karena nasibnya sama.
Realitas seperti ini adalah masalah yang cukup serius yang dirasakan dan harus dihadapi oleh waria Di satu sisi, waria mempunyai harapan yang besar untuk diakui oleh masyarakat apa adanya, sebagai golongan minoritas yang berasal dari jenis kelamin ketiga. Waria ingin memperoleh hak-hak yang sama dengan yang didapat oleh manusia-manusia dari dua jenis kelamin yang lain tanpa harus menanggalkan identitas sebagai waria. Ancaman waria sesungguhnya adalah orang lain.


Kontroversi Pelarangan KPI
KPI yang diboncengi MUI membuat keputusan pelarangan penayangan tokoh waria di televisi karena lebih menekankan pada pengaruhnya pada psikologis anak-anak. Menurut KPI Pusat, permintaan ini terkait dengan pelanggaran pada pasal 12 ayat 1 huruf b dan ayat 2 huruf a Peraturan KPI Nomor 03 Tahun 2003 tentang Standar Program Siaran (SPS) dan berdasarkan hasil pantauan, aduan masyarakat (periode 01 Maret - 25 Agustus 2008) mengenai tayangan tersebut. Dalam siaran pers tersebut dijelaskan, permintaan penghentian tayangan ini dikeluarkan setelah, KPI melakukan telaahan serta diskusi bersama Ketua Komisi Fatwa MUI Dr. H.M. Anwar Ibrahim, Psikolog dari Yayasan KITA dan Buah Hati Rani Noe’man, Psi, dan Tokoh Pendidik Prof. Dr. Arief Rachman dalam forum dialog publik dengan tema: ”Tampilan dengan Model Kebanci-bancian di Televisi Kita”. Banyak pihak mengklaim, termasuk orang tua, tokoh-tokoh waria akan diimitasi anak-anak. Mereka ketakutan jika anak-anak mereka “keterusan” ngiku-ngikut waria. Di usia 3-6 tahun, anak-anak memang sedang mengalami perkembangan yang luar biasa. Mereka belajar tentang banyak hal di lingkungannya. Semua diserap. Beberapa (yang menarik perhatian) kemudian ditiru. Wajar saja, jika mereka kemudian meniru tokoh-tokoh yang ada di televisi, termasuk tokoh waria. Apakah ini perlu dikhawatirkan berkaitan dengan perkembangan si anak selanjutnya? Tergantung. Tergantung bagaimana anak mendapatkan pemahaman selanjutnya mengenai waria, mengenai dunia akting, mengenai cara menghargai orang lain yang berbeda, mengenai seksualitas. Disinilah peran orangtua sangat dibutuhkan. Sudahkah sebagai orang tua, dapat memberikan pemahaman itu? Ataukah cukup dengan menyalahkan televisi, urusan selesai? Kalau untuk urusan “ketularan”, transgender bukan penyakit menular. Jangan khawatir. Yang jelas, kalau anak memang tidak punya potensi transgender ya tidak akan ”jadi” waria. Kalaupun memang punya potensi, tugas orang tua, sekali lagi, memberikan pemahaman yang BENAR tentang seksualitas, transgender, dan tentu saja, tetap memberikan kasih sayang sebagai orang tua.

Lalu Bagaimana?
Memang, waria tidak sengaja diciptakan Tuhan karena Tuhan hanya menciptakan manusia sebagai pria atau wanita. Namun banyak juga masyarakat yang kurang menyadari, mengapa seseorang menjadi waria? Yang ada hanyalah kesadaran bahwa waria adalah orang yang memang menentang kehendak Tuhan. Itu saja, dan habis perkara. Padahal, ada beberapa hal yang menyebabkan waria menjadi seperti demikian. Bisa jadi karena lingkungannya. Waria, sebetulnya bisa dikategorikan menjadi gaya hidup. Untuk menekan stigma negatif di masyarakat, kelompok minoritas seperti waria harus lebih meningkatkan peran di masyarakat. Pasalnya, saat ini waria dihadapkan pada stigma ganda. Waria punya hak yang sama dan tidak boleh didiskriminasikan. Untuk meminimalisasi stigma yang cenderung negatif itu waria harus menciptakan lapangan kerja sendiri. Jika masih susah menembus sektor formal, tentunya harus ditunjang juga melalui sektor pendidikan. Sementara untuk mendapatkan hak khusus kaum waria, perlu ada pengakuan dari masyarakat. Paling tidak, perlu mendapatkan perhatian bagaimana sewajarnya waria itu bersosialisasi dengan masyarakat. Terlalu tidak pantas kalau kita memberi cap prostitusi, kriminal, atau kelompok masyarakat tidak berguna kepada mereka. Seperti pada lagunya Band NAIF “Mengapa aku begini, jangan kau pertanyakan”.


PENULIS ADALAH MURID DARI SMK PARULIAN 1 MEDAN JURUSAN TI ( TEKNIK INFORMATIKA ),PENGGERAK SOSPOL PARTAI PAHIMA DAN ANGGOTA D’COMTIS
posted by Antonius Sihaloho @ Kamis, April 16, 2009  
0 Comments:

Posting Komentar

COmennt aq dunks

<< Home
 
 
About Me
Foto Saya
Nama:
Lokasi: Medan, Medan/Sumatera Utara, Indonesia

Realistis itulah kehidupan.. Yang berarti berani ,jujur, dan menerima apa adanya..,

Archives
Archives
Sidebar Section
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.
Sidebar Section

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.

Links
Free Blogger Templates Free blogger Templates