Kamis, 16 April 2009
Waria Mengapa Aku harus Begini..???
Selain jenis kelamin laki-laki dan perempuan, kita mengenal jenis kelamin waria atau transeksual. Waria yang umum ditemui adalah individu dengan bentuk fisik laki-laki namun secara psikis merasa dirinya adalah anggota dari jenis kelamin yang berlawanan. Akibatnya waria ini berusaha untuk mengungkapkan jati dirinya dalam wujud perempuan baik melalui cara berpenampilan, tutur kata, bahasa tubuh, maupun orientasi seksual. Munculnya kaum waria di Indonesia menimbulkan penolakan tersendiri dari struktur masyarakat. Secara mendasar, keberadaan waria dipandang sebagai sebuah dosa atas proses penciptaan. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tertanggal 1 November 1997 menegaskan bahwa waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri. Oleh karena itu, segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula. Waria tidak diperlakukan secara setara dan saat waria berusaha untuk menjadi diri sendiri, waria malah dibuang, diasingkan, dipersalahkan, bahkan ditabukan karena penyimpangan yang terdapat dalam diri mereka. mereka. Akhirnya golongan ini lebih memilih untuk mengisolasi diri, hidup dalam sebuah komunitas tertentu, dan memakai istilah bahasa sendiri yang cenderung susah dimengerti oleh orang lain.
Keberadaan Waria di Masyarakat
Selama ini waria sering dijadikan olok-olokan, ditiru cara bicara maupun gerak tubuhnya yang maksudnya sekadar sebagai lelucon. Dianggap lucu karena tidak normal. Dalam kenyataan pahit yang lain, waria sering pula diidentikkan dengan penjaja seks komersial (PSK). Ungkapan yang juga sering keluar dari masyarakat bahwa waria sebagai sampah masyarakat, sehingga tidak perlu diperhatikan haknya sebagai manusia dan warga negara. Padahal banyak waria yang memiliki potensi sumber daya yang cukup handal. Masyarakat sekarang masih menstigma dan mendiskriminasikan, menjadikan mereka “tidak enak” dalam kehidupan sosial. Sebagian masyarakat masih mengacu pada aturan dulu, hanya ada laki dan perempuan, tak ada lagi di antaranya. Mereka tersingkir dalam pendidikan, pekerjaan, akses kesehatan dan lainnya. Selanjutnya mereka berkelompok dan ini perlu dibantu. Dengan menghargai dan memberi mereka peluang serta dorongan untuk maju. Dengan demikian mereka bisa lebih berdaya. Ketika mereka dihargai di suatu pekerjaan berarti mereka telah bisa berdaya. Mereka menjadi kelompok eksklusif karena masyarakat yang membentuknya. Mereka bersatu karena nasibnya sama.
Realitas seperti ini adalah masalah yang cukup serius yang dirasakan dan harus dihadapi oleh waria Di satu sisi, waria mempunyai harapan yang besar untuk diakui oleh masyarakat apa adanya, sebagai golongan minoritas yang berasal dari jenis kelamin ketiga. Waria ingin memperoleh hak-hak yang sama dengan yang didapat oleh manusia-manusia dari dua jenis kelamin yang lain tanpa harus menanggalkan identitas sebagai waria. Ancaman waria sesungguhnya adalah orang lain.


Kontroversi Pelarangan KPI
KPI yang diboncengi MUI membuat keputusan pelarangan penayangan tokoh waria di televisi karena lebih menekankan pada pengaruhnya pada psikologis anak-anak. Menurut KPI Pusat, permintaan ini terkait dengan pelanggaran pada pasal 12 ayat 1 huruf b dan ayat 2 huruf a Peraturan KPI Nomor 03 Tahun 2003 tentang Standar Program Siaran (SPS) dan berdasarkan hasil pantauan, aduan masyarakat (periode 01 Maret - 25 Agustus 2008) mengenai tayangan tersebut. Dalam siaran pers tersebut dijelaskan, permintaan penghentian tayangan ini dikeluarkan setelah, KPI melakukan telaahan serta diskusi bersama Ketua Komisi Fatwa MUI Dr. H.M. Anwar Ibrahim, Psikolog dari Yayasan KITA dan Buah Hati Rani Noe’man, Psi, dan Tokoh Pendidik Prof. Dr. Arief Rachman dalam forum dialog publik dengan tema: ”Tampilan dengan Model Kebanci-bancian di Televisi Kita”. Banyak pihak mengklaim, termasuk orang tua, tokoh-tokoh waria akan diimitasi anak-anak. Mereka ketakutan jika anak-anak mereka “keterusan” ngiku-ngikut waria. Di usia 3-6 tahun, anak-anak memang sedang mengalami perkembangan yang luar biasa. Mereka belajar tentang banyak hal di lingkungannya. Semua diserap. Beberapa (yang menarik perhatian) kemudian ditiru. Wajar saja, jika mereka kemudian meniru tokoh-tokoh yang ada di televisi, termasuk tokoh waria. Apakah ini perlu dikhawatirkan berkaitan dengan perkembangan si anak selanjutnya? Tergantung. Tergantung bagaimana anak mendapatkan pemahaman selanjutnya mengenai waria, mengenai dunia akting, mengenai cara menghargai orang lain yang berbeda, mengenai seksualitas. Disinilah peran orangtua sangat dibutuhkan. Sudahkah sebagai orang tua, dapat memberikan pemahaman itu? Ataukah cukup dengan menyalahkan televisi, urusan selesai? Kalau untuk urusan “ketularan”, transgender bukan penyakit menular. Jangan khawatir. Yang jelas, kalau anak memang tidak punya potensi transgender ya tidak akan ”jadi” waria. Kalaupun memang punya potensi, tugas orang tua, sekali lagi, memberikan pemahaman yang BENAR tentang seksualitas, transgender, dan tentu saja, tetap memberikan kasih sayang sebagai orang tua.

Lalu Bagaimana?
Memang, waria tidak sengaja diciptakan Tuhan karena Tuhan hanya menciptakan manusia sebagai pria atau wanita. Namun banyak juga masyarakat yang kurang menyadari, mengapa seseorang menjadi waria? Yang ada hanyalah kesadaran bahwa waria adalah orang yang memang menentang kehendak Tuhan. Itu saja, dan habis perkara. Padahal, ada beberapa hal yang menyebabkan waria menjadi seperti demikian. Bisa jadi karena lingkungannya. Waria, sebetulnya bisa dikategorikan menjadi gaya hidup. Untuk menekan stigma negatif di masyarakat, kelompok minoritas seperti waria harus lebih meningkatkan peran di masyarakat. Pasalnya, saat ini waria dihadapkan pada stigma ganda. Waria punya hak yang sama dan tidak boleh didiskriminasikan. Untuk meminimalisasi stigma yang cenderung negatif itu waria harus menciptakan lapangan kerja sendiri. Jika masih susah menembus sektor formal, tentunya harus ditunjang juga melalui sektor pendidikan. Sementara untuk mendapatkan hak khusus kaum waria, perlu ada pengakuan dari masyarakat. Paling tidak, perlu mendapatkan perhatian bagaimana sewajarnya waria itu bersosialisasi dengan masyarakat. Terlalu tidak pantas kalau kita memberi cap prostitusi, kriminal, atau kelompok masyarakat tidak berguna kepada mereka. Seperti pada lagunya Band NAIF “Mengapa aku begini, jangan kau pertanyakan”.


PENULIS ADALAH MURID DARI SMK PARULIAN 1 MEDAN JURUSAN TI ( TEKNIK INFORMATIKA ),PENGGERAK SOSPOL PARTAI PAHIMA DAN ANGGOTA D’COMTIS
posted by Antonius Sihaloho @ Kamis, April 16, 2009   0 comments
Idealisme VS Tawuran Pada Pelajar
Tawuran antar pelajar yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun ini sangat memalukan citra pelajar yang menyandang kaum intelektual dan idealis. Tawuran antar pelajar rupanya telah mendarah daging bagi sebagian kaum intelektual bangsa ini. Pelajar justru terlibat baku hantam dalam bingkai kebanggaan satu sekolah. Pascareformasi tahun 1998, geliat eksistensial pelajar di negeri ini kerap kali abnormal, keluar dari jalur idealisme malah berlari ke arus pragmatisme dan bahkan anarkis. Pelajar kini justru lebih terjerembab dalam kesalahan berpikir akan eksistensinya sebagai pelajar itu sendiri. Erick Erickson dalam bukunya Youth, Crisis and Identity berpendapat bahwa usia muda adalah tahapan pencarian jati diri yang sering luput bahkan meluputkan diri dari proteksi orangtua. Erickson juga berpendapat jika tahapan paling utama masa muda adalah ketika mengenyam pendidikan di Sekolah dan Perguruan Tinggi. Jika kita tarik garis historis ke belakang, tahapan pencarian jati diri kaum intelektual inilah yang justru menjadi “amunisi” untuk bergeliat memajukan bangsa. Kita lihat bagaimana kaum muda angkatan 1928 dan 1945 riuh dalam kebersamaan untuk mengikat persatuan bangsa dalam usaha memerdekakan bangsa ini.

Sikap Yang Seharusnya
Peran dan fungsi Pelajar harus kembali dipertegas. Pelajar harus mampu mengawasi dan mengontrol reformasi secara utuh seperti saat mereka membidani kelahirannya bulan Mei 1998. Pergerakan pelajar pada saat ini tampaknya memiliki perbedaan signifikan dengan pelajar tahun 1998, yang mempunyai keseragaman visi, yaitu reformasi. Kondisi tersebut tidak terlihat lagi pada masa kini, pelajar memiliki agenda dan garis perjuangan yang berbeda dengan pelajar lainnya. Sekarang ini pelajar menghadapi pluralitas gerakan yang sangat besar. Meski begitu, setidaknya pelajar masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat di daerahnya masing-masing. Pelajar sudah telanjur dikenal masyarakat sebagai agent of change, agent of modernization, atau agen-agen yang lain. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada pelajar untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang disandangnya. Pelajar harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya.
Dengan adanya sikap kritis dalam diri pelajar diharapkan akan timbul sikap korektif terhadap kondisi yang sedang berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan harus hinggap dalam pola pikir setiap pelajar. Pelajar harus menyadari, ada banyak hal di negara ini yang harus diluruskan dan diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan komitmen terhadap nasib bangsa di masa depan harus diinterpretasikan oleh pelajar ke dalam hal-hal yang positif. Tidak bisa dipungkiri, pelajar sebagai social control terkadang juga kurang mengontrol dirinya sendiri. Sehingga pelajar harus menghindari tindakan dan sikap yang dapat merusak status yang disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis dan anarkisme yang banyak menghinggapi pelajar.
Perubahan yang cepat dalam realitas politik dan sosial di negara ini menuntut sikap taktis dan strategis dari semua pihak, termasuk pelajar. Sikap ini tidak harus melalui gerakan-gerakan frontal dan radikal yang berlebihan, mengingat sekarang ini banyak muncul pandangan atau perkataan sinis terhadap pelajar; seperti tukang perusuh, tukang perusak, tukang tawuran, dsb.
Karena itu, kepedulian dan nasionalisme terhadap bangsa dapat pula ditunjukkan dengan keseriusan menimba ilmu di bangku sekolah. Pelajar dapat mengasah keahlian dan spesialisasi pada bidang ilmu yang mereka pelajari di Sekolah, agar dapat meluruskan berbagai ketimpangan sosial ketika terjun di masyarakat kelak.
Peran dan fungsi pelajar dapat ditunjukkan secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap tertanam dalam jiwa setiap pelajar. Sikap kritis harus tetap ada dalam diri pelajar, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan. Dengan begitu, pelajar tetap menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas kerakyatan.

Simpulan
Terkait peristiwa tawuran pelajar di beberapa daerah, setidaknya menjadi bukti hembusan idealisme itu kian menjauh dari kehidupan generasi muda negeri ini. Patutlah kita prihatin melihat geliat mereka yang menyerahkan diri dalam kerangkeng emosi yang dekonstruktif. Masyarakat tidak membutuhkan tawuran, kekerasan, atau lainnya, justru mereka membutuhkan angin perubahan dari proses transformasi pengetahuan dan perilaku intelektual demi kemajuan bangsa ini. Dan, pelajar yang bertindak sebagai subjeknya. .

PENULIS ADALAH MURID DARI SMK PARULIAN 1 MEDAN JURUSAN TI ( TEKNIK INFORMATIKA ),PENGGERAK SOSPOL PARTAI PAHIMA DAN ANGGOTA D’COMTIS
posted by Antonius Sihaloho @ Kamis, April 16, 2009   0 comments
REFLEKSI MENJADI WAKIL RAKYAT
Saya terkesan dengan pendapat seorang teman yang mengatakan bahwa ada filosofis tentang seorang caleg (calon legislatif) yaitu membuang uang halal; mencari uang haram. Dasar pendapat diatas adalah telah terjadinya komersialisasi jabatan politik. Untuk menjadi calon legislatif harus mempersiapkan uang ratusan juta rupiah dan hanya dalam hitungan bulan saja sejak dilantiknya menjadi anggota dewan yang terhormat, uang tersebut akan kembali bahkan lebih besar. Sehingga terbentuk opini bahwa menjadi wakil rakyat adalah kalkulasi penanaman modal.
Kita ketahui bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekarang telah banyak menghasilkan pelbagai produk legislasi yang penting dan positif (misalnya;UU Pornografi meskipun kontroversi). Begitu pula dari sekian wakil rakyat yang bekerja dengan jujur dan kompeten. Akan tetapi, sebagai keseluruhan DPR yang sekarang berakhir gagal dalam hal yang paling dasar: dalam membuktikan diri betul-betul menjadi wakil rakyat. Secara keseluruhan rakyat menjadi muak dengan DPR. Tontonan ruang sidang yang setengah kosong, cerita-cerita dalam media bahwa banyak wakil rakyat yang korupsi, dan komisi-komisi DPR hanya berkenan membahas rancangan undang-undang baru apabila dibayar ratusan juta rupiah dan apabila mendesak dilakukan di hotel mewah. Rakyat juga tahu bahwa studi banding menjadi hak wakil rakyat, dimana selain ada kesempatan berfoya-foya, masing-masing mendapat uang ratusan dollar AS, semuanya atas biaya rakyat yang sedang sengsara.

Segera Bertobat
Akan sangat fatal sekali apabila rakyat kehilangan kepercayaan ke dalam demokrasi – dan lima tahun adalah tontonan yang sangat mengharukan bagi rakyat melihat perilaku wakilnya yang keterlaluan.
Sudah saatnya elite politik bertobat. Filosof Hans Jonas menunjukkan bahwa apa yang khas bagi seorang negarawan adalah bahwa ia secara naluri sadar dengan seluruh dirinya bertanggung jawab atas keselamatan bangsa. Tanggung jawab negarawan secara prinsipil tidak mengenal waktu kerja terbatas, tidak mempunyai waktu luang, dan tidak bisa cuti. Adalah perlu bahwa para wakil rakyat, mereka yang akan mengisi lembaga perwakilan selama lima tahun mendatang secara sadar, jujur, dan berani membalik trend dan mengembalikan moralitas panggilan hati untuk berpolitik. Sadar bahwa melayani rakyat di tempat tertinggi merupakan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri yang tentu menuntut komitmen seratus persen. Bangga akan menjadi penyelamat yang mengeluarkan rakyat dari krisis dan membangun kehidupan masa depan lebih baik. Bukan berarti bahwa wakil rakyat tidak memperoleh fasilitas yang memadai. Namun, untuk masa sekarang yang masih banyak rakyat kelaparan, para wakil rakyat diharapkan dapat memberikan contoh hidup sederhana, rajin bekerja, rajin membaca informasi, dan mempelajari semua keterampilan yang dibutuhkannya untuk melaksanakan tugasnya.
Tugas wakil rakyat sangat besar. Hampir semua urusan bangsa masih belum teratasi. Dan yang paling mendesak, hanya dapat ditanggulangi apabila para wakil rakyat memang bertekad mempelopori sebuah pembaharuan moral publik; pemberantasan korupsi. Rakyat membutuhkan wakil-wakil rakyat yang memperjuangkan rakyat dengan tulus demi memajukan bangsa. Sekedar mengingatkan kembali kepada para calon atau wakil rakyat bahwa pertanggung jawaban bukan hanya kepada rakyat semata, Sang Khalik juga akan meminta pertanggung jawaban Anda.

PENULIS ADALAH MURID DARI SMK PARULIAN 1 MEDAN JURUSAN TI ( TEKNIK INFORMATIKA ),PENGGERAK SOSPOL PARTAI PAHIMA DAN ANGGOTA D’COMTIS
posted by Antonius Sihaloho @ Kamis, April 16, 2009   0 comments
ASPRESIASI FILM LASKAR PELANGI
Film Laskar Pelangi hadir meramaikan dunia perfilman kita. Sebagaimana judulnya, film ini diangkat dari novel yang sangat terkenal yaitu “Laskar Pelangi” karya emas anak bangsa Andrea Hirata. Banyak orang yang memberikan apresiasi luar biasa atas film ini karena sarat dengan pesan moral akan pentingnya budi pekerti dan semangat kerja keras meskipun hidup serba kekurangan. Kehadiran film Laskar Pelangi tidak saja dikonsumsi masyarakat biasa, kini menjadi sebuah wacana dan buah bibir para tokoh, terutama para tokoh politik. Rizal Malarangeng salah satunya, tokoh politik di Indonesia ini turut angkat bicara. Rizal Malarangeng yang hadir dalam sebuah dialog nasional bertemakan 'Mengembangkan Hakikat Sumpah Pemuda Dalam Agenda Membangun Bangsa' yang dihadiri Prof. Amien Rais pada Sabtu, 18 Oktober 2008 di kampus Universitas Negeri Medan (UNIMED) saat diajukan pertanyaan tentang dunia pendidikan oleh sekretaris senat mahasiswa UNIMED. Bung Rizal juga mengatakan bahwa film LASKAR PELANGI merupakan salah satu film terbaik selama 30 tahun terakhir ini. Tidak banyak produksi-produksi film dan sinetron di Indonesia menyuguhkan kehidupan realitas masyarakat yang sesungguhnya seperti film Laskar Pelangi. Atau setidaknya menyuguhkan film-film sarat makna dan nilai-nilai sehingga membangun karakter pencerahan bagi yang menontonnya. Kecenderungan film-film atau sinetron Indonesia kini adalah yang menunjukkan gaya hidup mewah, tidak mendekati nilai-nilai realitas kehidupan bahkan menanggalkan akal sehat dalam kecendrungan film-film hantu, mistik dan keangkeran. Sejatinya, fungsi film harus memuat tiga hal, pertama, fungsi pendidikan. Produksi film kita masih belum memuat prosentase pendidikan. Masih berkutat pada aspek fiksi yang kadang tidak ilmiah atau masuk akal. Kedua, berfungsi sebagai informasi. Dalam menyampaikan informasi, film harus merujuk pada sumber-sumber informasi yang valid dan dipercaya. Jangan sampai memberikan informasi yang tidak valid, karena ini akan menimbulkan keresahan masyarakat. Sedangkan fungsi yang ketiga adalah sebagai hiburan. Fungsi ini kadang lebih mendominasi dibanding dengan fungsi lain. Orientasi ini karena produser film cenderung ingin mendapatkan keuntungan material belaka ketimbang mengedepankan aspek idealisme yang menjunjung tinggi tujuan pendidikan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagian besar film dan sinetron kita masih belum menampakkan ciri dan pola film Indonesia yang mengedepankan aspek moralitas dan agama. Padahal kita adalah bangsa yang beragama. Banyak sekali produksi film religi namun tidak menggunakan mekanisme atau aturan sebagaimana agama mengatur. Contohnya, pembuatan film religi, ada adegan berpelukan atau berciuman, padahal dalam kenyataan aktor dan aktris tersebut bukan muhrimnya. Walaupun tuntutan skenario atau yang lain harusnya kita bisa membuat alternatif agar tidak terjadi demikian. Performa film yang demikian menimbulkan keresahan para pemerhati film dan masyarakat luas. Indikasi ini muncul karena tuntutan masyarakat yang semakin cerdas. Hal ini belum semuanya dibaca oleh para pembuat dan pelaku film. Yang akhirnya mau tidak mau masyarakat dicekoki film dan sinetron yang tampil seperti sekarang ini.


Mengajar Dengan Hati
Secara umum, meski belum dapat memvisualkan “Laskar Pelangi” secara utuh dan menghidupkan karakter tokoh-tokohnya selengkap novelnya, namun film ini telah berhasil menyampaikan sejumlah pesan moral dan etika pendidikan. Film ini juga menempatkan Ikal sebagai tokoh utama, namun sulit bagi kita melupakan karakter Lintang yang cerdas-bersahaja dan Bunda Guru Muslimah yang ikhlas-sabar-gigih-tegar. Lintang seorang anak nelayan yang selalu ingin datang lebih pagi dengan hanya mengayuh sepeda yang sering putus rantainya ke sekolah sejauh 80 kilometer dan melewati sungai yang banyak buayanya namun tetap semangat untuk mencari ilmu dari sekolah yang hampir roboh. Namun sayang, impian Lintang yang ingin seperti temannya Ikal (Andrea Hirata) yang mendapat beasiswa dan sekolah di Sorbonne Perancis tidak kesampaian karena harus menghidupi adik-adiknya setelah ditinggal “pergi” ayahnya.
Ibu guru Muslimah juga merupakan sosok yang mewarnai kisah setiap tokoh Laskar Pelangi. Sosok ibu guru ini mencuri hati kita sejak awal, bagaimana ibu guru yang sabar ini sedang cemas menantikan murid-murid baru yang mendaftar di sekolahnya. Kisah selanjutnya yang menceritakan bagaimana dedikasi beliau dalam mengajar, dengan pendidikan yang terbatas namun beliau tidak pernah berhenti untuk mencerdaskan kehidupan anak-anak miskin di Belitong. Tanpa balasan yang sesuai dengan pengabdiannya, beliau tidak pernah berhenti mengajar. Satu bukti bahwa beliau mengajar dengan penuh cinta. Semakin tegas kita melihat cinta Ibunda Guru ini tidak hanya pada profesinya namun juga pada anak-anaknya. Bagaimana dalam setiap perjuangan anak-anaknya, Ibunda Guru selalu mendampingi mereka tidak hanya secara fisik namun juga dengan doa. Ibunda Guru ini juga selalu memberikan kesempatan pada setiap muridnya untuk berkembang dengan kelebihan dan keterbatasan mereka. Di kala begitu banyak orang menyebut diri seorang pendidik dan pembela hak-hak anak termasuk hak pendidikan, ibu guru Muslimah berkarya dalam diam, Ibunda Guru memberikan kepada murid-muridnya tidak hanya ilmu, waktu, tenaga namun juga cinta yang begitu besar. Di kala begitu banyak orang yang mengaku dirinya pejuang hak-hak anak, di kala begitu banyak orang yang mendiskusikan, membicarakan, dan melakukan pelatihan tentang hak anak; ibunda guru telah memberikan pemenuhan semua hak tersebut pada anak-anak didiknya. Di kala begitu banyak orang yang mengaku diri pejuang pendidikan anak, berlomba-lomba mengejar begitu banyak penghargaan, melalui tulisan, melalui kata, melalui berbagai pelatihan dan ‘karya’, ibunda guru dengan rendah hati menyatakan dirinya hanya seorang guru desa biasa, yang tidak mempunyai kelebihan dan bukan dia yang pintar namun yang pintar adalah muridnya. Bagi seorang guru sejati, penghargaan yang sebenarnya adalah keberhasilan anak-anak didiknya.


Penutup
Film Laskar Pelangi telah menggugah sekian banyak orang dengan cara yang luar biasa; membuat penontonnya terbawa tidak hanya kepada ‘keindahan’ alam Belitong, namun juga hanyut dalam pribadi masing-masing tokoh yang diceritakan dalam film tersebut. Sebenarnya, kekuatan pada film itu adalah cinta murid kepada gurunya. Presiden SBY yang telah menonton filmnya secara lisan mengatakan bahwa film Laskar Pelangi merupakan karya seni yang sangat hebat. Beliau juga mengatakan film Laskar Pelangi membangkitkan semangat dan karakter bangsa yang ingin maju. Menunjukkan karakter dan semangat anak-anak Indonesia yang gigih, berjuang merebut masa depannya. Semoga film Laskar Pelangi dapat menjadi stimulant anak bangsa dalam menyongsong masa depan.

PENULIS ADALAH MURID DARI SMK PARULIAN 1 MEDAN JURUSAN TI ( TEKNIK INFORMATIKA ),PENGGERAK SOSPOL PARTAI PAHIMA DAN ANGGOTA D’COMTIS
posted by Antonius Sihaloho @ Kamis, April 16, 2009   0 comments
DI SEKITAR INSIDEN PROVINSI TAPANULI
Kini masyarakat Sumatera Utara telah kehilangan salah satu pemimpin akibat dari tindakan anarkisme para pengunjuk rasa pendukung Provinsi Tapanuli (Protap) yang dikomandoi GM.Chandra Panggabean. Penyampaian aspirasi masyarakat dalam menuntut haknya disertai tindakan-tindakan tidak terpuji telah menambah “raport merah” penyelenggaraan demokrasi kita. Apalagi masyarakat Sumatera Utara yang dikenal dengan pluralitas dan rasa toleransinya. Pujian terhadap masyarakat Sumatera Utara juga disampaikan oleh Presiden SBY dalam kunjungannya pada Pesta Danau Toba dan panen raya di Simalungun. Di persimpangan jalan Putri Hijau dapat kita lihat papan besar yang terdapat gambar Gubernur Syamsul Arifin dan Presiden SBY yang bertuliskan “Sumut Luar Biasa dan Sumut Model Kerukunan Nasional”. Namun, pasca insiden 3 Februari lalu apakah Sumut masih dapat dikatakan luar biasa?.
Proses demokrasi di Republik ini masih mengalami carut-marut seiring dengan mantra kebebasan yang telah kehilangan kontrol. Otonomi daerah telah menjadi komoditi oleh sebagian elite politik dalam memperebutkan kekuasaan. Rakyat di doktrin dengan dalih kesejahteraan, para tokoh masyarakat dijanjikan kursi kekuasaan, mahasiswa dijanjikan pekerjaan, maka terjadilah diskusi-diskusi alot bagaimana cita-cita besar itu dapat terealisasi. Maka terbentuklah gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli. Sudah mahfum, jika terbentuk provinsi baru maka para elite akan mendapat kursi kekuasaan baru dan persaingan untuk itu akan dimulai lagi tentu saja dengan menimbulkan konflik dengan menebar wacana-wacana pembenaran di masayarakat.Otonomi daerah telah menimbulkan kerajaan-kerajaan baru di Republik ini. Konfrontasi-konfrontasi politik pun terjadi. Elite politik yang gagal bersaing mendapat kursi kekuasaan, bergabung dan berspekulasi untuk mencari kursi tersebut tidak peduli apakah sesuai dengan mekanisme, yang jelas kepentingan mereka dapat terwujud. Bagaimanakah dengan pembentukan Provinsi Tapanuli?. Daerah Tapanuli dahulunya adalah pusat kerajaan batak yang sangat harmonis dan sejahtera masyarakatnya. Alasan itulah yang membuat masyarakat Tapanuli kembali bangkit dan memperjuangkan daerahnya agar kembali menjadi daerah yang kuat dan sejahtera yang dipimpin oleh orang tapanuli pula. Satu dasawarsa sudah perjuangan pembentukan Protap hingga kini belum juga terealisasi. Berbagai perjuangan telah ditempuh dengan dukungan-dukungan politik dari Tapanuli hingga ke Jakarta. Satu langkah lagi untuk terwujudnya Provinsi Tapanuli ada di tangan para wakil rakyat di DPRD Sumut (DPRDSU).
Masyarakat yang mendukung Protap merasa dilecehkan dengan tingkah para wakil rakyatnya yang hanya pandai berjanji dan terkesan cuek terhadap keinginan mereka. Spekulasi politik terlihat kontras sekali dalam pembentukan Protap. Para pendukung Protap terus membakar opini rakyat bahwa Protap adalah harga mati, sementara para penentang Protap berusaha terus mencari cara melalui dalih mekanisme untuk menolaknya. Seperti iklan salah satu produk rokok “susah melihat orang senang, dan senang melihat orang susah” telah tertanam di jiwa para wakil rakyat kita.
Konflik Kepentingan
Protap adalah konflik kepentingan elite politik. Sejenak terlepas apakah rakyat tapanuli akan sejahtera atau tidak setelah terbentuknya Provinsi Tapanuli. Meskipun masyarakat Sumatera Utara terkenal dengan tangguhnya dari berbagai tindakan provokasi oleh berbagai pihak, namun untuk Protap telah berbeda. Masyarakat telah berhasil dipecah oleh mereka yang mendukung ataupun menolak Protap dengan kepentingannya masing-masing. Kesemuanya itu adalah akibat dari ketidakdewasaannya para elite politik kita dalam berpolitik sehingga menghalalkan segala cara dan meninggalkan kaidah-kaidah moral dalam mencapai tujuan. Rakyat telah kehilangan sosok pemimpin mana yang harus dipercaya. Semua elite politik mengaku mengatasnamakan rakyat dalam perjuangannya. Kenyataannya, setelah mendapat kursi kekuasaan para elite politik hanya memperjuangkan keluarga dan koleganya. Rakyat kembali menjadi korban hewaniah para elite politik yang haus kekuasaan. Demokrasi yang digembor-gemborkan pemerintah hanyalah omong kosong jika perut rakyatnya lapar. Bagaimana mungkin rakyat dapat berpikir sehat dalam menentukan pemimpinnya jika perutnya lapar?. Kondisi seperti ini sepertinya telah dibiarkan oleh mereka yang memiliki kepentingan poliik. Mereka mendapat pelajaran berharga dari Kolonial Belanda pada masa penjajahan. Hal yang wajar dalam suatu menentukan kebijakan saling berbeda pendapat. Di Negara paling demokratis seperti Amerika Serikat pun masih ada konflik-konflik kecil dalam pengambilan keputusan. Tetapi semua itu dapat diatasi dengan pikiran yang sehat dan mental yang bersih demi rakyatnya. Mereka berjuang demi rakyatnya. Tidak seperti wakil rakyat kita yang bermental pengecut dan oportunis yang selalu haus akan kekayaan dan kekuasaan. Urusan rakyat adalah prioritas terakhir bagi mereka.


Jangan Terpancing Provokasi
Di sebuah media massa saya melihat berita bertuliskan bahwa tindakan pengunjuk rasa yang anarkis dan tega membunuh pemimpinnya sendiri. Saya sepakat bahwa tindakan pengunjuk rasa memang anarkis dan tidak bermoral dalam menyampaikan aspirasinya, dan kalimat “tega membunuh pemimpinnya sendiri” itu saya tidak sepakat karena belum ada penjelasan resmi dari pihak yang berwajib. Saya pikir kalimat-kalimat yang dikeluarkan media massa seperti itu bersifat provokasi dan tidak mencerdaskan rakyat. Media massa seharusnya bersikap objektif dalam menyampaikan beritanya. Jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan dalam penyampaian berita demi menjaga kredibilitas media massa itu sendiri. Terlepas dari dikotomi mendukung atau menolak Protap, saya berpendapat bahwa insiden yang telah menewaskan ketua DPRDSU adalah kumulasi dari ketidakdewasaannya kita dalam berpikir. Rakyat yang telah lama menelan pil pahit kekecewaan terhadap wakil rakyatnya sehingga rakyat menjadi mudah sekali di hasut untuk melakukan tindakan anarkisme. Lantas apakah rakyat dapat disalahkan begitu saja?. Para elite politik dan walil rakyat juga bertanggung jawab dalam insiden ini. Rakyat (pengunjuk rasa) disebut pembunuh wakil rakyatnya pada ketika berunjuk rasa, lalu disebut apakah para wakil rakyat yang korupsi dan berzinah itu? Bukankah mereka menjadi wakil rakyat karena telah dipilih rakyat dan bekerja untuk rakyat?. Para elite politik kita memang paling hebat dalam pembenaran diri dan memanfaatkan situasi untuk menaikkan citranya di mata rakyat, apalagi sebentar lagi akan digelar Pemilu.
Banyak pihak yang mengasumsikan bahwa insiden di DPRD yang menyebabkan kematian Ketua DPRDSU adalah sesuatu yang telah direncanakan dengan matang. Tetapi banyak juga yang berpendapat bahwa insiden itu adalah kecelakaan di luar dugaan dalam suatu unjuk rasa seperti kasus unjuk rasa lainnya yang memiliki korban jiwa. Sebagai masyarakat yang baik, kita harus cerdas dalam menyikapi persoalan ini. Akan banyak pihak-pihak yang mencoba menganggu keharmonisan kita dengan memanfaatkan insiden ini. Kita harus paham bahwa insiden di DPRDSU bukanlah perang SARA, tetapi perang antar elite politik yang tidak bertanggung jawab. Marilah kita semua menyerahkan persoalan ini ke dalam koridor hukum demi menghindari perpecahan masyarakat kita. Semoga.

PENULIS ADALAH MURID DARI SMK PARULIAN 1 MEDAN JURUSAN TI ( TEKNIK INFORMATIKA ),PENGGERAK SOSPOL PARTAI PAHIMA DAN ANGGOTA D’COMTIS

posted by Antonius Sihaloho @ Kamis, April 16, 2009   0 comments
Selasa, 14 April 2009
KIsah Presiden SBY jadi kurir surat

Tentang dua gadis cilik asal Aceh dan USA.

Dua gadis yang hanya bertemu melalui korespondensi, Nada Luthfiyyah (12 tahun) asal Aceh dan Maggie (13 tahun) dari Amerika Serikat, akan diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani, di Wisma Negara, Jakarta. Keduanya akan beraudiensi dan memakaikan gelang persahabatan kepada SBY dan Ibu Ani.

Kisah dua gadis dari dua benua yang berjauhan itu sungguh unik. Nada adalah gadis yatim piatu korban tsunami Aceh. Sedangkan Maggie adalah gadis cilik dari kota kecil di Amerika Serikat bernama Charlevoix, Michigan. Kedua gadis cilik tersebut dipertemukan secara kebetulan oleh sejarah ketika Presiden SBY menjadi kurir surat Maggie kepada Nada dan surat Nada ke Maggie. Surat Nada dan Maggie dibacakan oleh Presiden di Gedung Putih, AS, pada acara the Asia-Pacific American Heritage Event, 25 Mei 2005.

Selain akan diterima SBY dan Ibu Ani, Nada dan Maggie juga akan mengikuti serangkaian program dalam rangka Peringatan HUT ke-63 RI, 15-26 Agustus 2008. Antara lain, mengunjungi beberapa sekolah di Jakarta dan wisata ke Taman Mini Indonesia Indah. Maggie dan Keluarga juga dijadwalkan melakukan kunjungan ke Nanggroe Aceh Darussalam, Medan, dan Yogyakarta .

Juru Bicara Presiden, Dino Patti Djalal, punya cerita menarik mengenai kedua gadis tersebut. Cerita itu ia tuangkan dalam salah satu judul “Pemimpin yang Menyentuh Hati dan Menyembuhkan Luka” pada buku Harus Bisa, yang telah beredar beberapa waktu lalu. Berikut kutipannya:

…Dari seluruh kunjungan Presiden SBY ke luar negeri, salah satu momen yang paling menyentuh adalah ke tika SBY menjadi ‘kurir surat’ sekaligus penghubung antara seorang gadis yatim piatu di Aceh dan seorang gadis cilik di Michigan.

Ceritanya bermula di awal 2005. Waktu itu, saya mengadakan pertemuan dengan mitra kerja saya di Gedung Putih, Washington DC. Dalam kunjungan tersebut, saya mendapatkan sepucuk surat yang ditulis oleh seorang anak SD di Charlevoix, Michigan, bernama Maggie.

Surat tersebut ditulis Maggie untuk anak-anak di Aceh, namun karena tidak tahu kepada siapa akan di alamatkan, akhirnya sekolahnya mengirim surat itu ke Gedung Putih. Waktu itu, berita tsunami yang disiarkan setiap hari di televisi memang mengguncang Amerika Serikat, dan menyentuh hati rakyatnya. Mantan Presiden Bill Clinton menyatakan bahwa sepertiga dari seluruh rumah tangga di AS memberi sumbangan untuk korban tsunami.

Saya memang sempat terharu sewaktu membaca surat itu, karena isinya yang polos, tulus dan penuh kasih sayang yang murni dari seorang anak kecil, dan langsung ada perasaan di hati saya bahwa akan ada peristiwa yang spesial kelak—namun baru sekedar firasat.

Saya segera menawarkan untuk membawa surat itu ke Indonesia. Ketika kembali ke Jakarta, saya menceritakan perihal surat ini kepada Presiden. SBY ternyata sangat tertarik terhadap surat Maggie ini. Instruksi beliau: “Sampaikan surat ini kepada (Kepala BRR) Pak Kuntoro. Sampaikan permintaan saya agar beliau dapat meneruskan surat ini kepada anak-anak di Aceh. Biarlah mereka membacanya dan mudah-mudahan salah satu dari mereka dapat membalas surat ini. Perhatikan hal ini baik-baik dan laporkan terus kepada saya, Din.” Pesan tersebut segera saya sampaikan pada Dr. Kuntoro Mangkusubroto, yang berjanji akan menindaklanjutinya.

Beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan informasi bahwa surat itu telah sampai ke tangan seorang anak yang selamat dari bencana tsunami. Anak itu adalah Nada Lutfiyyah, yang telah menjadi yatim piatu karena ayah, ibu dan semua saudara-saudaranya hilang dibawa ombak tsunami. Nada kini tinggal dengan seorang sepupunya di Banda Aceh.

Surat balasan dari Nada kepada Maggie lebih mengharukan lagi: ada kepedihan yang dipendam, namun juga ada harapan dan kerinduan akan kasih sayang. Jujurnya, saya menangis begitu membaca surat Nada itu. Nada juga mengirim ikatan rambut untuk Maggie yang dilampirkan dalam surat itu.

Ketika saya melaporkan surat Nada ke Presiden, SBY sedang sibuk mempersiapkan rencana serangkaian kunjungan ke Amerika Serikat, Jepang dan Vietnam. Di sinilah timbul gagasan kreatif: surat tersebut tidak akan dikirim dulu kepada Maggie di Michigan, namun akan dibacakan SBY dalam suatu acara resmi di Gedung Putih yang banyak diliput media. Kebetulan pada tanggal 25 Mei 2005, Presiden Bush mengundang Presiden SBY untuk memberi pidato pa da acara The Asia -Pacific American Heritage Event, di Gedung Putih. Di sanalah SBY akan membuat kejutan tersebut.

Pada hari-H, setelah mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden George W. Bush di Oval Office, kedua pemimpin menuju ruangan di Gedung Putih, dimana sudah menunggu sejumlah elit politik dan tokoh-tokoh Amerika keturunan Asia. Presiden George W. Bush memulai dengan sebuah pidato singkat—sekitar 3 menit saja, sesuai dengan skenario protokol. Setelah Presiden Bush selesai ber pidato, tiba giliran Presiden SBY. Beliau berpidato tentang tsunami, kepahlawanan dan solidaritas kemanusiaan.

Di pertengahan pidato, beliau merujuk pada surat Maggie, dan membaca surat itu kepada hadirin: “Hi, I hope your family and friends are okay. In church, I pray for you and your country. In school, we are raising money for your country. We have a loose change bucket and kids bring money in. Also, we are making tsunami bracelets to raise money too. I have made you one. I hope you like it. I will continue praying for you and your country in church. Your friend, Maggie.”

Presiden SBY kemudian merujuk pada surat balasan Nada kepada Maggie. Sebelumnya, Presiden SBY menunjukkan foto Nada dari podium. Namun Presiden SBY menunjukkan foto Nada dalam posisi terbalik, dan Presiden Bush membantu membetulkan letak foto itu—semua hadirin tertawa. SBY membaca surat Nada yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris: “My good friend, hello friend. My name is Nada Lutfiyyah. I was so happy and my heart was touched to receive the letter you sent us. My family—my dad, mom,older brother and younger brother—have disappeared, and now I live with my cousin. I am so glad you are paying attention to us here. I hope to receive your bracelet in the coming days because I want to wear it on my arm to remind me that I have a new friend.”

Semua orang yang hadir, termasuk wartawan, berlinangan air mata. Saya melihat mata Presiden Bush berkaca-kaca. Presiden SBY mengakhiri pidatonya: “These two letters are extraordinary both on the words they conveyed and in the fact that two youngster from entirely different backgrounds made a connection. An American girl who prays at church, collect loose change and make bracelets for tsunami kids two oceans away. An Indonesian Muslim girl who lost all her family and wants to kill the pain and is eager just to be a kid again, just like Maggie. I think the world would be a better place if all of us start to have connections and conversations the way Maggie and Nada did.”

Sebenarnya Presiden SBY hanya diacarakan bicara 3 menit, tidak lebih dari Presiden Bush. Biasanya protokol Amerika akan langsung cerewet kalau protokol dilanggar, tapi kali itu tidak ada satu pun yang protes karena memang semuanya terbawa suasana yang sangat mengharukan. Tepuk tangan panjang membahana seusai Presiden SBY berpidato. Presiden Bush langsung menjabat erat-erat tangan SBY. Saya sempat mendengar seseorang di antara hadirin berkata: “That was one of the most brilliant and touching speeches I ever heard.”

Seusai acara itu, Presiden SBY segera menugaskan Duta Besar Indonesia di AS, Soemadi Brotodiningrat, ke Michigan untuk secara langsung membawa dan menyampaikan surat Nada kepada Maggie. Di sana, Dubes Soemadi disambut dalam upacara resmi, dihadiri seluruh siswa SD K-6 Charlevoix dan para orang tua, termasuk pejabat Walikota. Maggie sama sekali tidak menyangka suratnya itu akan berbuntut panjang, dan baik Maggie maupun se luruh SD kini merasa ada koneksi emosional yang riil dengan Indonesia yang selama ini hanya mereka baca di buku.

Cerita ini masih berlanjut terus. Nada selalu ingin bertemu dengan SBY, namun tidak pernah kesampaian karena faktor jarak antara Aceh dan Jakarta . Akhirnya, pada bulan Desember 2005, Nada Luthfiyyah berhasil mewujudkan mimpinya selama ini. SBY sedang memberikan pidato peringatan setahun tsunami di Ulelee, Aceh. Nada dengan sabar menunggu di pinggir podium, bersama anak yatim piatu lainnya. Setelah SBY selesai dan beranjak meninggalkan tempat acara, beliau dihadang oleh Nada, dan langsung saya perkenalkan kepada SBY.

SBY: “Oo, ini yang namanya Nada. Belajar terus yang baik ya nak.” Ibu Ani yang berada di samping SBY langsung memeluk Nada dengan penuh kasih sayang. Nada, yang kini sudah bisa tersenyum, hanya tersipu-sipu, dan kehilangan kata.

Peristiwa ini merupakan pembelajaran bagi diplomat Indonesia: tugas mereka bukan saja untuk menjaga hubungan dengan pejabat pemerintah setempat, namun juga untuk belajar bergaul dan menyentuh hati rakyat di manapun mereka berada. Caranya tidak terlalu sulit: asal kreatif, bertujuan baik, dan harus datang dari hati.

posted by Antonius Sihaloho @ Selasa, April 14, 2009   0 comments
Kamis, 09 April 2009
Inspirasi Politik Bagiku
TErkibar rasa politik bagiku..,
Poilitik serupa bagaikan mencari batu permata, yang memerlukan perjuangan yang cukup berat untuk mendapatkannya.,
Inspirasi politik mulai muncul sejak aku duduk di bangku SMP kelas 1.
Mulanya di saat saya beljar tentang ideologi kewarganegaran. Di Pelajaran PPKN yang sekarang menjadi PKN.

Saya sangat antusias ketika menerangkan pelajaran itu. Memang sich guru bersifat KOlonial Belanda, yang suka memilah-milah dan pilih kasih.., Tapi dengan saya tetap berusaha mencari apa arti inspirasi politik.
posted by Antonius Sihaloho @ Kamis, April 09, 2009   0 comments
About Me
Foto Saya
Nama:
Lokasi: Medan, Medan/Sumatera Utara, Indonesia

Realistis itulah kehidupan.. Yang berarti berani ,jujur, dan menerima apa adanya..,

Archives
Archives
Sidebar Section
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.
Sidebar Section

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.

Links
Free Blogger Templates Free blogger Templates